Rabu, 18 Maret 2009

Selamat Ulang Tahun Qonita


8 Maret, hari minggu lalu, Qonita, putri bungsuku, merayakan ulang tahunnya yang ke-empat. Hari yang sangat berarti untuknya, karena di usianya yang sekarang, sudah dapat memahami apa arti perayaan ulang tahun dari sudut pandangnya. Menurutnya, hari ulang tahun itu identik dengan mainan-mainan dan baju-baju hadiah dari orang tua, eyang serta om dan tante-tantenya. Ini dibuktikan dari banyaknya permintaan hadiah yang dimintanya beberapa bulan menjelang bulan ulang tahunnya. Saya sendiri juga heran, mengapa dia mengerti kalau tanggal 8 Maret itu merupakan tanggal ‘bersejarahnya”. Permintaannya pun tak kalah heboh dengan orderan antar toko, seperti scooter bergambar Barbie, baju Barbie, baju stroberry shortcake dan boneka Barbie. Mungkin karena dia memiliki kakak perempuan penggemar Barbie, jadilah dia tertular virus Barbie. Tapi karena dia adalah putri mungilku, dengan suka rela saya menyicil kado-kado permintaannya sejak bulan Januari.
Mengingat 8 Maret, mengingatkan kejadian bertahun-tahun yang lalu saat saya dengan lunglainya melihat surat penempatan PNS setelah pendidikan yang memberitahukan kalau saya ditempatkan di Cianjur, sekitar September 2003 atau 2004 yang lalu. Segera setelah pemberitahuan penempatan, saya segera mendatangi Bagian Kepegawaian untuk memprotes mengapa saya ditempatkan di luar Jakarta, karena setau saya, wanita yang telah menikah penempatannya mengikuti suami. Ternyata menurut Bagian Kepegawaian slip keterangan bahwa saya telah menikah hilang, betapa lemasnya saya mengetahui keterangan mereka, alasan yang sangat mudah diucapkan, tetapi berat bagi yang menjalaninya. Mereka mengusulkan agar saya menemui Kepala Kantor Cianjur dan meminta kebijaksanaan Kepala Kantor Cianjur untuk mengijinkan pembatalan penempatan saya. Seperti yang sudah saya perkirakan, Kepala Kantor saya menolak mentah-mentah ide saya. Terang saja dia menolak, karena anak buahnya juga sedikit dan sangat mengharapkan pegawai-pegawai baru di kantornya.
Setelah kejadian penolakan itu, saya segera mencari rumah kontrakan dan membawa anak-anakku, pada saat itu ada dua, Naura dan Radit, yang masih berusia 5 dan 3 tahun. Suamiku tetap tinggal di Jakarta, kembali tinggal di rumah orang tuanya dan pulang kampung ke Cianjur tiap Jumat malam. Terasa lumayan berat tinggal di negeri orang berikut dua anak yang masih kecil-kecil, beruntunglah saya membawa pembantu dari Jakarta, walaupun akhirnya dia berhenti karena mungkin dia memang menginginkan tinggal di Jakarta. Untung pula tidak susah mencari pembantu, karena cukup banyak tawaran untuk mendapatkan pembantu di kota kecil itu, tidak seperti Jakarta yang harus melalui Yayasan atau pesan melalui orang lain.
Di Cianjur saya mendapatkan banyak sahabat-sahabat yang banyak membantu saya. Seperti ketika anak-anak sakit saat malam, tinggal menelpon seorang sahabat, beberapa saat kemudian dia sudah tiba di rumah. Tengkyu Widi..saat-saat itu tidak dapat saya lupakan. Hampir setiap Minggu kami berkumpul untuk makan nasi liwet, atau pergi ke tempat makan yang ikannya dapat diambil sendiri di danau, atau sekedar lintas alam. Sistem pertemanan di sana sangat berbeda dengan di Jakarta, kami benar-benar dekat satu sama lain.
Walaupun kehidupan di Cianjur sangat indah, tapi karena kampung kami di Jakarta, tetap saja kami merindukan saat-saat bersama kembali di Jakarta. Saya tetap berusaha untuk minta pindah ke Jakarta, membuat surat permohonan tanpa biaya pindah. Kantor Wilayah di Bandung saya datangi. Tapi yang namanya mungkin belum jodoh, tetap saja usaha tersendat-sendat. Sampai akhirnya saya berfikir pendek, saat itu memang kami sudah bersepakat hanya memiliki anak 2, karena sudah putra dan putri, saya menginginkan untuk hamil lagi, saat itu saya berpikir jika saya hamil mungkin saya diijinkan untuk pindah mengikuti suami di Jakarta. Pasti mereka tidak tega, begitu pikir saya.
Sungguh merupakan saat-saat kehamilan yang berat, karena sampai menginjak bulan ke sembilan, saya masih merasakan morning sickness dan muntah-munta sepanjang hari. Padahal saat itu saya harus bolak balik ke Bandung dan Jakarta untuk mengurusi permohonan kepindahan saya itu. Saat melewati Puncak yang jalannya meliuk-liuk sungguh membuat perut saya sengsara, isi perut bagaikan ingin keluar. Setelah turun dari bis pasti saya sempatkan mencari WC umum ’sekedar’ ingin muntah. Belum lagi acara ngidam yang aneh..seperti tidak mau menyentuh air, tidak mau mandi dan cuci rambut hanya mau di tempat tidur (suami yang mencuci rambut saya). Tapi untunglah putri kecil saya itu tidak terkena imbasnya, saya pikir dulu mungkin nanti Qonita tidak mau menyentuh air, ternyata dugaan saya salah, Qonita sangat senang bermain air.
Setelah berjuang sekuat tenaga dan bersimbah air mata, karena permohonan saya itu sempat ditolak. Akhirnya tanggal 20 Desember 2004 saya dapat pindah ke Jakarta lagi. Tapi itu juga saya masih harus bolak balik Cianjur Jakarta, karena Naura dan Radit sudah bersekolah di Cianjur. Tiap jam 5 pagi saya telah naik colt jurusan Bogor untuk kemudian naik bis jurusan UKI, yang dilanjutkan naik bis lagi ke Jl. Gatot Subroto. Tapi untunglah, tidak berapa lama, setelah segala urusan tempat tinggal dan sekolah anak-anak di Cianjur dibereskan, tanggal 15 Januari 2005 kami dapat memindahkan semua barang-barang ke Jakarta. Dan tak lama berselang, 8 Maret, putri kecil kami pun lahir.
Tapi kelahiran putri kecil itu juga harus melalui jalan yang lumayan sulit, karena walaupun sudah bukaan 7 tapi putri kami tidak kunjung lahir. Setelah di cek CTG dapat diketahui bahwa putri kami mengalami kekurangan oksigen sehingga dia tidak dapat berjuang ke luar dari rahim, sehingga akhirnya secara mendadak dokter menyarankan untuk dicaecar. Akhirnya pada pukul 10.00 malam, lahirlah Qonita Handias Khairunnisa, yang artinya ’Anak perempuannya Handoyo dan Soediastuti yang taat beribadah dan baik’. Amin ya Alloh...
Terima kasih, Qonita, putri kecilku, tanpa dirimu, ayah, titu, kakak dan mas tidak bisa berkumpul lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar