Kamis, 14 Juni 2012


Nenek ku Sayang

Secara tiba-tiba orang tua memberi kabar via sms bahwa nenek masuk rumah sakit, dirawat di Siloam Karawaci, kaget juga mendengar berita ini, karena nenek sudah sangat tua (namanya juga nenek-nenek ya), sudah sekitar 80 tahun dan telah pikun. Karena saat mendapat info termasuk hari di pertengahan minggu, yang berarti hari kerja dan jalur ke Karawaci luar biasa padatnya, maka saya dan suami sepakat menengok pada hari libur. Saat mendengar kesepakatan kami, orang tua mendadak dangdut kebakaran jenggot, menurut mereka kalau mendengar berita sakit itu harus segera didahulukan sesibuk apapun, jadilah kami menengok pada hari Kamis malam, jadi lah kami berangkat ke Karawaci, setelah melalui acara debat sana debat sini dan berakhir dengan kekalahan di pihak saya.

                Tibalah saat menengok itu, eng ing eng, ternyata lalu lintas macet luar biasa saudara-saudara, Gatot Subroto sangat macet, berangkat jam 5.30 sore dari Tebet, jam 8 malam masih terdampar di depan Gedung MPR/DPR, hadeuh…Jakarta. Barulah saat mendekati jam 9 malam kami tiba di rumah sakit. Taukah saudara-saudara, ternyata nenek saya itu tidak sakit. Hanya ngambek karena kurang perhatian. Ternyata karena beliau tinggal dengan adik sepupu saya yang sudah memiliki 2 putri yang masih kecil dan menyita perhatian, nenek saya itu merasa tidak diperhatikan, beliau mungkin merasa tersisihkan walaupun telah ada perawat yang selalu berada di sisinya, aksi beliau adalah tidak mau makan selama seminggu, bahkan kata perawatnya tidak mau minum susu juga. Karena sudah seminggu tidak mau makan dan tubuhnya yang sudah sangat kurus semakin lemah, akhirnya atas inisiatif adik sepupu yang ketakutan ada apa-apa dengan nenek dibawalah sang nenek ke rumah sakit.

                Demi mendengar sang ibu yang terbaring di rumah sakit, berdatanganlah anak-anak dan para cucu, mereka menyuapi, memijat dan mengelus, serta meminumkan susu yang ternyata tidak sulit makan dan minum susu. Akhirnya nenek berkata bahwa beliau mau lebih lama tinggal di rumah sakit supaya bisa disuapi oleh anak-anak dan cucu-cucunya, oooh ternyata kangen toh? Sampai akhirnya kami pulang karena jam berkunjung yang terlambat itu akhirnya usai, nenek meminta kami berjanji agar kami datang berkunjung lagi, dengan gaya seperti anak-anak balita dengan mata penuh harap kepada orang tuanya.

                Dengan kejadian tadi, saya merenung sendiri, bagaimana nanti kalau saya telah tua dan anak-anak telah memiliki keluarga dan memiliki kesibukan sendiri, dan apabila saya kangen anak-anak saya apakah saya harus mogok makan, apakah saya akan terlantar seperti nenek saya tadi? Saya hanya  dapat berdoa kepada Alloh SWT, bila saat itu tiba, saya diberi yang terbaik dan tidak menyusahkan anak-anak dan keluarga saya. Aamiin.

Pentingnya Belajar Bahasa

Mempelajari bahasa itu penting, entah itu bahasa Jawa, Sunda, Sumatera, ataukah hanya sekedar bahasa pergaulan di kalangan ABG. Sewaktu saya kuliah, belasan tahun yang lalu, saya yang notabene lahir dan besar di Jakarta, mau tak mau, sadar tak sadar akhirnya belajar bahasa Jawa karena lingkungan teman-teman pergaulan sekitar yang  berasal dari Jawa Tengah dan sekitarnya, daripada mereka ngobrol dan saya serasa gagu dan tuli karena tidak mengerti apa yang mereka bicarakan, rasanya seperti tersingkir dengan sukses. Setelah saya minimal mengerti apa yang mereka obrolkan barulah saya merasa diterima oleh mereka, itu pun baru mengerti, belum menguasai lho ya, pasti hasilnya lebih dahsyat. Saya memiliki pengalaman menarik seputar bahasa. Sewaktu ditugaskan ke Cianjur, awal-awalnya saya sering mendengar orang-orang Sunda di sekitar saya mengucapkan kata-kata 'bagong', saya pikir 'wah ternyata orang-orang Sunda ini suka dengan wayang', wah hebat, saya saja yang katanya keturunan orang Jawa ini masih setengah-setengah dalam mencintai budaya Jawa, kok orang-orang Sunda ini hebat sekali? Setelah proses bertanya sana sini? barulah saya mengerti bahwa arti kata 'bagong' adalah 'babi' (mohon maaf untuk orang Sunda). Kemudian ada kata Sunda yang saya tidak pernah mengerti artinya, yang sering diucapkan teman-teman saya yang laki-laki kepada sesama laki-laki yang baru dapat saya ketahui setelah bertahun-tahun kemudian, itupun teman saya menjelaskan dengan muka merah dan tertawa terbahak-bahak dan teman satunya malah bermuka biru seperti 'keselek' sendal, mungkin karena malu, bagaimana tidak malu wong yang saya tanyakan itu berarti alat kelamin pria. Saya juga malu sih, tapi itu belakangan. Ada lagi kejadian yang berhubungan dengan bahasa, kali ini bahasa Jawa. Ada dua orang rekan saya (laki-laki juga), entah mengapa saya selalu terdampar di lingkungan laki-laki, sedang membicarakan salah seorang laki-laki rekan mereka yang menikah kembali dengan wanita yang jauh lebih muda dan 'segar', ke dua rekan saya ini asyik mengobrol tentang hal-hal 'untuk kalangan laki-laki' yang tentunya dalam bahasa Jawa dan 'seru serta saru' mereka mungkin berpikir saya yang duduk dekat mereka tidak mengerti apa yang mereka bicarakan, karena jika orang-orang bertanya asal saya dari mana, saya selalu menjawab kalau saya orang Jakarta. Awalnya saat mereka berbicara dengan serunya, saya hanya senyam senyum sambil meng-klik mouse komputer, sampai akhirnya mereka berbicara 'saru' barulah saya tertawa keras, mereka baru sadar ternyata saya mengerti apa yang mereka obrolkan. Mereka malu atau tidak, saya tidak mengerti, yang pasti saya geli mendengar pembicaraan para lelaki ini, yang terbersit di pikiran saya adalah ternyata kalau lelaki ngobrol tentang wanita sama saja seperti para wanita yang sedang gosip. Psst..dua pria yang bergosip ini adalah kepala seksi saya dan kepala seksi sebelah. Itulah keuntungan dan kerugian belajar bahasa. Bagaimana dengan anda?