Sabtu, 28 Maret 2009

Deja Vu


Déjà vu adalah sebuah frasa Perancis dan artinya secara harafiah adalah "pernah lihat". Maksudnya mengalami sesuatu pengalaman yang dirasakan pernah dialami sebelumnya. Fenomena ini juga disebut dengan istilah paramnesia dari bahasa Yunani para (παρα) yang artinya adalah "sejajar" dan mnimi (μνήμη) "ingatan".
Menurut para pakar, setidaknya 70% penduduk bumi pernah mengalami fenomena ini (diambil dari id.wikipedia.com).
Kata ini sangat menggelitik. Banyak hal yang terjadi yang berhubungan dengan Déjà vu ini, seperti tiba-tiba bila penyakit ini menyerang, kita tiba-tiba berpikir keras, sepertinya kita pernah mengalami ini ya, tapi di mana? Atau tiba-tiba kita bertemu dengan seseorang yang tiba-tiba juga kita berpikir sepertinya orang ini pernah kita kenal, tapi di mana ya? Jika perasaan ini tiba-tiba muncul, sulit sekali menghilangkannya, sebab jawabannya susah sekali ditemukan, kapan dan di mana.
Saya sempat mengalami perasaan Déjà vu ini. Setiap saya berpikiran aneh mengenai suatu tempat , pasti di saat kemudian hari saat itu muncul kembali. Jadi jika Déjà vu yang berhubungan dengan tempat, saya masih dapat memprediksikan. Seperti saat saya melewati suatu jalan di Cianjur, bila hendak berangkat atau pulang dari Bandung, karena saat itu belum ada Cipularang, saya mengalami déjà vu , di saat kemudian, saya ditempatkan oleh kantor di Cianjur. Di saat lain, saya paling takut pergi ke daerah Senin karena banyak berita-berita menyeramkan seputar Senin, setiap pergi ke daerah Senin saya merasakan hal yang aneh, tapi tidak lama kemudian, saya dimutasikan oleh kantor ke daerah Senin. Beberapa saat ini, setiap saya ke daerah Jogja saya juga merasakan hal yang aneh, tapi hal ini harus saya ingkari, sebab saya tidak mau dimutasikan ke jogja, karena jauh dari Jakarta dan anak-anak tidak mungkin dibawa pindah ke sana. Tapi yang paling susah adalah bila kita bertemu dengan seseorang yang sepertinya telah kita kenal, siapa dan di mana, hal itu yang membutuhkan perjuangan keras untuk mengingatnya, suatu hal yang sangat sulit untuk kita ingat, perasaan yang timbul dari kita adalah sepertinya kita pernah mengenal dekat orang itu tapi kok sepertinya orang itu tidak mengenal kita. Siapa dia dan kapan kita mengenalnya, itu yang paling sulit.
Terlalu banyak rahasia dalam hidup ini yang tidak mungkin dapat kita ketahui, sangat banyak rahasia Alloh yang tidak mungkin dapat kita pelajari semuanya. Sedikit demi sedikit, sesuai dengan perjalanan hati , segala pelajaran yang berhubungan dengan kejiwaan dapat kita buka.

60 Menit Tanpa Lampu


Setelah melihat iklan ’60 Menit Tanpa Lampu’ atau 'Earth Hour' seminggu yang lalu, kami sekeluarga berniat untuk mengikuti anjuran tersebut. Program ini digagas oleh World Wildlife Fund (WWF) berfungsi untuk mengurangi laju perubahan iklim global. Aksi juga dilakukan di 2.848 kota pada 83 negara. Bagi kami, tidak ada salahnya kami mengikuti anjuran tersebut. Ada beberapa factor yang melatarbelakangi keputusan kami, diantaranya adalah disamping untuk mengajarkan kepada anak-anak kami dampak dari global warming juga dapat menghemat biaya listrik. Sejak siang kami sudah mengingatkan anak-anak bahwa nanti malam kami mau mematikan lampu dan agar tidak mengecewakan anak-anak kami merencanakan untuk berjalan-jalan malam ke pasar yang tidak terlalu jauh dari rumah. Arti jalan-jalan di sini adalah benar-benar berjalan-jalan kaki, tanpa naik kendaraan bermotor atau sepeda.
Tibalah saat yang ditunggu, 28 Maret 2009, sejak pukul 20.00 kami telah berganti baju dan bersiap-siap untuk mematikan lampu dan pergi ke luar rumah. Semua lampu dan saluran listrik kami matikan, kecuali kulkas. Tujuan kami berjalan-jalan adalah untuk melihat apakah ada di lingkungan kami tinggal yang ‘sepemikiran’ dengan kami untuk mematikan lampu. Ternyata setelah kami berjalan-jalan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa hanya sedikit yang mengikuti himbauan tersebut, dari jarak 1 km yang kami lalui tersebut, rumah bermati lampu yang kami temui hanya 3 rumah, ada juga rumah yang mati lampu tetapi memang karena tidak berpenghuni, selebihnya terang benderang. Ada pembicaraan lucu yang sempat saya dengar di antara ibu-ibu di rumah-rumah yang kami lalui, kata mereka “katanya kita harus matiin lampu ya jam 20.30? katanya berhubungan sama global warming ya”, kata tetangganya “ah itu kan yang mau aja, lagi pula kita bayar kok listriknya, jadi ngapain kita harus matiin”. Gemas juga sih mendengar kalimat itu, tapi apa daya, mungkin daya nalar mereka hanya sampai di situ saja, saya juga tidak mungkin tiba-tiba menyerobot pembicaraan dan menerangkan dampak global warming kepada mereka, bisa-bisa saya disangka dari partai mana, karena sekarang sedang heboh-hebohnya para peserta Pemilu menerangkan program kerja partainya.
Memang sulit untuk menanamkan cinta lingkungan kepada orang-orang yang memang tidak mau mencintai lingkungannya sendiri. Seperti membuat lobang biopori, banyak tetangga saya yang berpendapat bahwa saya buang-buang tenaga hanya untuk membuat lobang biopori dan membuang sampah organik di halaman rumah, padahal mereka juga ikut merasakan dampaknya. Atau tidak menggunakan kantong-kantong plastic, mereka menertawakan orang-orang yang membawa sendiri tas dari rumah karena menolak menggunakan kantong plastic yang disediakan oleh minimart.
Semua di mulai dari diri kita, tanpa niat dari diri sendiri, semuanya adalah nol besar. Karena tanpa dimulai dari sekarang, berarti kita akan menyisakan bencana untuk anak cucu kita nanti.

Rabu, 18 Maret 2009

Selamat Ulang Tahun Qonita


8 Maret, hari minggu lalu, Qonita, putri bungsuku, merayakan ulang tahunnya yang ke-empat. Hari yang sangat berarti untuknya, karena di usianya yang sekarang, sudah dapat memahami apa arti perayaan ulang tahun dari sudut pandangnya. Menurutnya, hari ulang tahun itu identik dengan mainan-mainan dan baju-baju hadiah dari orang tua, eyang serta om dan tante-tantenya. Ini dibuktikan dari banyaknya permintaan hadiah yang dimintanya beberapa bulan menjelang bulan ulang tahunnya. Saya sendiri juga heran, mengapa dia mengerti kalau tanggal 8 Maret itu merupakan tanggal ‘bersejarahnya”. Permintaannya pun tak kalah heboh dengan orderan antar toko, seperti scooter bergambar Barbie, baju Barbie, baju stroberry shortcake dan boneka Barbie. Mungkin karena dia memiliki kakak perempuan penggemar Barbie, jadilah dia tertular virus Barbie. Tapi karena dia adalah putri mungilku, dengan suka rela saya menyicil kado-kado permintaannya sejak bulan Januari.
Mengingat 8 Maret, mengingatkan kejadian bertahun-tahun yang lalu saat saya dengan lunglainya melihat surat penempatan PNS setelah pendidikan yang memberitahukan kalau saya ditempatkan di Cianjur, sekitar September 2003 atau 2004 yang lalu. Segera setelah pemberitahuan penempatan, saya segera mendatangi Bagian Kepegawaian untuk memprotes mengapa saya ditempatkan di luar Jakarta, karena setau saya, wanita yang telah menikah penempatannya mengikuti suami. Ternyata menurut Bagian Kepegawaian slip keterangan bahwa saya telah menikah hilang, betapa lemasnya saya mengetahui keterangan mereka, alasan yang sangat mudah diucapkan, tetapi berat bagi yang menjalaninya. Mereka mengusulkan agar saya menemui Kepala Kantor Cianjur dan meminta kebijaksanaan Kepala Kantor Cianjur untuk mengijinkan pembatalan penempatan saya. Seperti yang sudah saya perkirakan, Kepala Kantor saya menolak mentah-mentah ide saya. Terang saja dia menolak, karena anak buahnya juga sedikit dan sangat mengharapkan pegawai-pegawai baru di kantornya.
Setelah kejadian penolakan itu, saya segera mencari rumah kontrakan dan membawa anak-anakku, pada saat itu ada dua, Naura dan Radit, yang masih berusia 5 dan 3 tahun. Suamiku tetap tinggal di Jakarta, kembali tinggal di rumah orang tuanya dan pulang kampung ke Cianjur tiap Jumat malam. Terasa lumayan berat tinggal di negeri orang berikut dua anak yang masih kecil-kecil, beruntunglah saya membawa pembantu dari Jakarta, walaupun akhirnya dia berhenti karena mungkin dia memang menginginkan tinggal di Jakarta. Untung pula tidak susah mencari pembantu, karena cukup banyak tawaran untuk mendapatkan pembantu di kota kecil itu, tidak seperti Jakarta yang harus melalui Yayasan atau pesan melalui orang lain.
Di Cianjur saya mendapatkan banyak sahabat-sahabat yang banyak membantu saya. Seperti ketika anak-anak sakit saat malam, tinggal menelpon seorang sahabat, beberapa saat kemudian dia sudah tiba di rumah. Tengkyu Widi..saat-saat itu tidak dapat saya lupakan. Hampir setiap Minggu kami berkumpul untuk makan nasi liwet, atau pergi ke tempat makan yang ikannya dapat diambil sendiri di danau, atau sekedar lintas alam. Sistem pertemanan di sana sangat berbeda dengan di Jakarta, kami benar-benar dekat satu sama lain.
Walaupun kehidupan di Cianjur sangat indah, tapi karena kampung kami di Jakarta, tetap saja kami merindukan saat-saat bersama kembali di Jakarta. Saya tetap berusaha untuk minta pindah ke Jakarta, membuat surat permohonan tanpa biaya pindah. Kantor Wilayah di Bandung saya datangi. Tapi yang namanya mungkin belum jodoh, tetap saja usaha tersendat-sendat. Sampai akhirnya saya berfikir pendek, saat itu memang kami sudah bersepakat hanya memiliki anak 2, karena sudah putra dan putri, saya menginginkan untuk hamil lagi, saat itu saya berpikir jika saya hamil mungkin saya diijinkan untuk pindah mengikuti suami di Jakarta. Pasti mereka tidak tega, begitu pikir saya.
Sungguh merupakan saat-saat kehamilan yang berat, karena sampai menginjak bulan ke sembilan, saya masih merasakan morning sickness dan muntah-munta sepanjang hari. Padahal saat itu saya harus bolak balik ke Bandung dan Jakarta untuk mengurusi permohonan kepindahan saya itu. Saat melewati Puncak yang jalannya meliuk-liuk sungguh membuat perut saya sengsara, isi perut bagaikan ingin keluar. Setelah turun dari bis pasti saya sempatkan mencari WC umum ’sekedar’ ingin muntah. Belum lagi acara ngidam yang aneh..seperti tidak mau menyentuh air, tidak mau mandi dan cuci rambut hanya mau di tempat tidur (suami yang mencuci rambut saya). Tapi untunglah putri kecil saya itu tidak terkena imbasnya, saya pikir dulu mungkin nanti Qonita tidak mau menyentuh air, ternyata dugaan saya salah, Qonita sangat senang bermain air.
Setelah berjuang sekuat tenaga dan bersimbah air mata, karena permohonan saya itu sempat ditolak. Akhirnya tanggal 20 Desember 2004 saya dapat pindah ke Jakarta lagi. Tapi itu juga saya masih harus bolak balik Cianjur Jakarta, karena Naura dan Radit sudah bersekolah di Cianjur. Tiap jam 5 pagi saya telah naik colt jurusan Bogor untuk kemudian naik bis jurusan UKI, yang dilanjutkan naik bis lagi ke Jl. Gatot Subroto. Tapi untunglah, tidak berapa lama, setelah segala urusan tempat tinggal dan sekolah anak-anak di Cianjur dibereskan, tanggal 15 Januari 2005 kami dapat memindahkan semua barang-barang ke Jakarta. Dan tak lama berselang, 8 Maret, putri kecil kami pun lahir.
Tapi kelahiran putri kecil itu juga harus melalui jalan yang lumayan sulit, karena walaupun sudah bukaan 7 tapi putri kami tidak kunjung lahir. Setelah di cek CTG dapat diketahui bahwa putri kami mengalami kekurangan oksigen sehingga dia tidak dapat berjuang ke luar dari rahim, sehingga akhirnya secara mendadak dokter menyarankan untuk dicaecar. Akhirnya pada pukul 10.00 malam, lahirlah Qonita Handias Khairunnisa, yang artinya ’Anak perempuannya Handoyo dan Soediastuti yang taat beribadah dan baik’. Amin ya Alloh...
Terima kasih, Qonita, putri kecilku, tanpa dirimu, ayah, titu, kakak dan mas tidak bisa berkumpul lagi.